677
Samarinda – Dampak kebakaran BIGmall Samarinda pada Selasa (3/6) lalu mulai terasa di berbagai sektor. Bukan hanya meninggalkan puing-puing dan asap hitam di lantai bangunan, tragedi itu juga disebut-sebut mengganggu denyut ekonomi di ibu kota Kaltim.
Melansir Kaltimpost.id, Selasa (10/6), sudah hampir sepekan mal terbesar di Kaltim itu tidak beroperasi. Ribuan pekerja, mulai dari karyawan toko, petugas kebersihan, hingga pramusaji, belum beraktivitas normal.
Tak sedikit pula pelaku usaha yang terpaksa menghitung ulang strategi bertahan hidup.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman Indra Maulana mengatakan, penutupan BIGmall tentu memicu efek ekonomi yang berlapis.
Menurutnya, ada dua jenis dampak yang harus diperhatikan; langsung dan tidak langsung. Keduanya saling berkelindan dan bisa menjalar ke berbagai sektor.
“Yang paling terdampak tentu para tenant. Mereka kehilangan pendapatan harian sejak mal tutup,” ujar Indra saat dihubungi Kaltim Post.
“Cash flow mereka macet. Bagi UMKM, itu sangat berat karena sebagian besar tidak punya cadangan dana,” sambungnya.
Indra menjelaskan, BIGmall selama ini menjadi simpul ekonomi perkotaan. Setiap hari, ribuan transaksi terjadi di sana. Ketika pusat perbelanjaan itu berhenti beroperasi, perputaran uang di dalam kota ikut melambat.
Fenomena itu disebut economic leakage, atau kebocoran ekonomi karena saluran konsumsi yang terputus.
Tak hanya itu, rantai pasok juga terganggu. Para pemasok produk lokal, mulai kue, kerajinan, hingga pakaian, kehilangan outlet utama mereka.
“Ketika tenant tidak bisa berjualan, pemasok juga kehilangan pasar tetapnya. Itu yang dalam ekonomi disebut input-output linkage,” paparnya.
Indra menambahkan, dalam struktur ekonomi Samarinda, konsumsi rumah tangga memegang peranan besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Selama ini, kata dia, BIGmall menjadi tempat utama masyarakat membelanjakan penghasilannya, baik untuk kebutuhan pokok maupun gaya hidup.
“Penutupan mal membuat pengeluaran masyarakat tertahan, terutama di sektor konsumsi non-primer seperti restoran, bioskop, dan retail. Itu yang disebut discretionary spending, dan berpengaruh besar terhadap sektor jasa kota,” jelasnya.
Penutupan mal tak hanya berdampak pada pedagang dan pembeli. Sektor lain ikut merasakan efek berantainya.
Sopir taksi, ojek online, hingga sopir angkot kehilangan pelanggan. Sektor logistik ikut terganggu karena pengiriman barang ke mal harus dihentikan.
“Bahkan sektor pariwisata lokal ikut kena imbas. Selama ini BIGmall jadi tujuan belanja warga dari luar kota seperti Bontang, Tenggarong, dan Kutai Timur,” tambah Indra.
Kondisi itu menggambarkan keterkaitan antar-sektor atau inter-sectoral linkage. Ketika satu simpul ekonomi terganggu, efeknya menjalar ke mana-mana.
Lantas, seberapa cepat ekonomi bisa pulih?
Menurut Indra, pemulihan ekonomi bergantung pada tiga faktor utama, yakni kecepatan manajemen mal dalam membenahi operasional, dukungan pemerintah, dan kesiapan pelaku usaha untuk beradaptasi.
“Misalnya dengan menjual produk secara daring, baik melalui media sosial maupun e-commerce. Itu bisa jadi solusi sementara,” ujarnya.
Yang tak kalah penting, kata Indra, adalah koordinasi semua pihak, pemerintah, pengelola mal, pelaku usaha, hingga komunitas lokal. “Semakin kuat kolaborasi, semakin cepat ekonomi bangkit,” tegasnya.
Namun, Indra menekankan, peristiwa itu harus menjadi pengingat bahwa membangun ekonomi tak cukup hanya tumbuh, tapi juga harus tangguh.
“Perlu perencanaan kota yang memperhitungkan risiko ekonomi, memperkuat UMKM, memperluas perlindungan sosial, serta meningkatkan literasi keuangan,” tuturnya.
“Mal mungkin bisa dibangun kembali dalam hitungan bulan. Tapi pemulihan ekonomi masyarakat di sekitarnya, itu yang perlu perhatian lebih,” kuncinya.