AJI Indonesia Kecam Intimidasi Terhadap Jurnalis saat Meliput Aksi ‘Indonesia Is Not For Sale’ di Kawasan IKN
PPU – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam aksi intimidasi terhadap tiga jurnalis saat meliput kegiatan perayaan HUT RI.
Dijelaskan, ketiga jurnalis (Jurnalis CNN Indonesia.com dan dua jurnalis Project Multatuli) bersama aktivis dicegat oleh aparat kepolisian saat meliput aksi pembentangan kain merah bertulisan ‘Indonesia Is Not For Sale MERDEKA” di Jembatan Pulau Galang, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur pada Sabtu, 17 Agustus 2024.
Aksi itu digelar oleh belasan aktivis dari Greenpeace, WALHI dan JATAM sebagai rangkaian peringatan HUT RI ke-79.
Hari itu, jurnalis berangkat menggunakan kapal kayu (klotok) bersama empat penumpang lainnya dan satu motoris sekitar pukul Pukul 07.10 WITA. Rombongan jurnalis dan aktivis dibagi 3 kelompok menggunakan kapal berbeda untuk menuju lokasi aksi.
Jurnalis tiba di lokasi kawasan Pantai Lango, tepatnya di Pulau Kwangan sekitar Pukul 07.50 WITA. Di lokasi tersebut telah berkumpul masyarakat terdiri dari pemuda, anak-anak dan ibu-ibu yang berasal dari 7 desa di Teluk Balikpapan yang terdampak pembangunan Ibu kota Negara (IKN).
Upacara peringatan HUT RI yang digelar koalisi masyarakat sipil bersama warga, dimulai sekitar pukul 09.42 Wita. Acara berlangsung khidmat, dirangkai pembacaan maklumat rakyat disertai kegiatan lomba.
Jurnalis dan aktivis kemudian mengikuti rangkaian kegiatan arak-arakan 14 kapal menuju jembatan Pulau Balang, sekitar pukul pukul 11.20 WITA. Berbagai spanduk bertulisan kritikan terhadap pemerintah juga dibentangkan di kapal ini.
Mereka tiba di bawah Jembatan Pulau Balang sekitar pukul 12.05 WITA. Di lokasi ini, koalisi masyarakat sipil berkumpul dan menanti spanduk merah 50 meter dibentangkan dari atas jembatan. Saat itulah, satu unit perahu karet dari Polairud Penajam Paser Utara datang dan menanyakan kegiatan aksi tersebut. Beberapa menit kemudian, dua perahu dari kepolisian sektor Penajam datang untuk membubarkan aksi.
Jurnalis dan aktivis kemudian bubar sekitar pukul 12.17 Wita. Rombongan berangkat ke arah Maridan, arah sebaliknya dari Balikpapan, untuk mengantar aktivis, kemudian Kembali ke arah Jembatan Pulau Balang.
Jurnalis diberhentikan aparat di bawah jembatan Pulau Balang sekitar pukul 13.00 Wita. Mereka diminta ikut naik ke atas daratan, namun ditolak karena jurnalis akan pulang setelah bertugas meliput kegiatan tersebut. Mereka terus dipaksa.
“Turun dari kapal! Kalian takut kah?” “Kalau benar kenapa takut?” “Cepat turun dari kapal!” ujar petugas sambil menepuk-nepuk atap kapal.
Pukul 13.15 Wita, jurnalis memutuskan untuk turun dan ikut demi menghindari hal-hal tidak diinginkan, karena situasi semakin tidak kondusif. Aparat berjaga di mana-mana dan jurnalis digiring ke arah gedung berlambang PUPR, tidak jauh dari jembatan pulau balang.
Jurnalis diintimidasi untuk tujuan apa berada di lokasi tersebut. Jurnalis menjawab liputan, tetapi petugas tersebut malah tertawa.
Saat itu juga sempat terjadi perdebatan antara aktivis dan puluhan aparat gabungan TNI-Polri. Beberapa dari mereka meminta telepon genggam dan KTP, namun ditolak.
Sekitar pukul 14.55 Wita, jurnalis diperbolehkan kembali ke kapal setelah aparat mendata nama dan medianya. Sementara belasan aktivis digiring ke Polres Penajem Paser Utara untuk dimintai keterangan bersama pendamping hukum.
Sekitar pukul 20.35 Wita, jurnalis kembali ke hotel bersama rombongan aktivis. Saat kembali ke hotel di Balikpapan, mereka diikuti oleh sebuah kendaraan selama satu jam.
Namun, mereka berhasil menghindar dengan masuk ke gang-gang sampai kemudian masuk ke dalam hotel dengan aman. Tetapi ketika tiba di hotel, dua orang dengan perawakan intel terlihat berjaga di lobby mengamati gerakan jurnalis dan aktivis.
Atas kejadian itu, AJI menyatakan jurnalis dalam menjalankan tugas profesinya dilindungi Undang-undang Pers. Dalam Pasal 4 ditegaskan bahwa pers nasional tidak dapat disensor, dibredel, atau dilarang menyiarkan. Untuk menjamin kemerdekaan pers, jurnalis memiliki hak untuk mencari, mendapatkan, dan menyebarkan gagasan dan informasi.
Tindakan intimidasi tersebut melanggar Pasal 18 Ayat (1) UU Pers. Setiap orang yang sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalis bisa kenai pidana 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta.
AJI juga mempertanyakan urgensi aparat kepolisian membawa jurnalis ke pos polisi. Bahwa jurnalis meliput aksi aktivis ini karena memang memiliki nilai berita tinggi, relevan dan faktual.
Meskipun pada akhirnya dilepas, justru menggelandang jurnalis ke pos polisi adalah bentuk intimidasi dan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalis.
Kerja-kerja jurnalis dilindungi UU Pers dan segala bentuk intimidasi, termasuk membawa jurnalis ke pos polisi saat melakukan peliputan adalah tindakan melanggar UU itu. Untuk kesekian kalinya dan terus berulang, aparat kepolisian menjadi aktor utama musuh kebebasan pers.
Karena itu, AJI Indonesia mendesak aparat mengusut kasus penangkapan dan intimidasi jurnalis dan aktivis tersebut. Tindakan aparat kepolisian itu telah mencederai kebebasan pers dan hak kebebasan berekspesi.
Atas peristiwa intimidasi terhadap jurnalis, AJI Indonesia menyatakan sikap:
1. Mengencam intimidasi terhadap jurnalis yang meliput aksi ‘Indonesia Is Not For Sale’. Peliputan aksi aktivis ini merupakan bagian dari kepentingan publik yang memiliki nilai berita tinggi, relevan dan faktual.
2. Mendesak pihak kepolisian memproses hukum aparat yang melakukan intimidasi kepada jurnalis yang sedang meliput. Ini bentuk upaya menghambat kerja jurnalis dalam mencari informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
3. Mengimbau kepada semua pihak untuk menghargai kerja-kerja jurnalistik dan menghormati kebebasan pers di Indonesia. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum sesuai Pasal 8 UU Pers.
4. Mengimbau para jurnalis untuk patuh pada kode etik jurnalistik dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan jurnalistik